Kamis, 07 Januari 2010

Perkembangan Arsitektur Tradisional Makasar

A. Pola Spasial
1. Struktur Kampung
Kampung Kamal Muara berdasarkan foto udara, dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini:












Gambar 1. Foto Udara Kampung Kamal Muara

Berdasarkan gambar 1 di atas, maka perkampungan orang Bugis dan terletak di garis pantai dengan pola linier mengikuti alur sungai yang mengarah dari Barat Daya menuju ke Timur Laut. Sementara, perkampungan orang Betawi berada di “daratan”.
Secara lebih terinci, permukiman dan rumah-rumah orang Bugis di Kamal Muara dibangun mengikuti pola alur sungai, jalan, dan gang.











Perkampungan orang Bugis di Kamal Muara adalah pakkaja (kampung nelayan) dengan pola berderet dan mengelompok mengikuti alur sungai dan jalan. Sebagian dari rumah-rumah tersebut membelakangi sungai. Pola demikian sesuai dengan pola spasial kampung pada tradisional Bugis di daerah asalnya.
Orientasi rumah dalam struktur kampung menghadap ke jalan atau gang (lihat gambar.3), karena tidak terdapat pusat orientasi yang biasanya berupa pohon yang besar. Namun demikian kampung Bugis di Kamal Muara memiliki langgar atau masjid yang biasanya juga dapat menjadi pusat orientasi.


















2. Tata Letak Rumah
Denah rumah pada umumnya masih mengikuti kaidah-kaidah arsitektur tradisional Bugis. Hal ini terwujud dalam pembagian ruangan atau petak (lontang/latte), yang tetap dibagi-bagi menjadi tiga bagian:
a. Lontang risaliweng (ruang depan), berfungsi untuk menerima tamu dan tempat tidur tamu (public)
b. Lontang retengngah (latte retengngah) atau ruang tengah, berfungsi untuk tempat tidur kepala keluarga dan anak-anak yang belum dewasa, tempat makan (private).
c. Lontang rilaleng (latte rilaleng): tempat tidur anak gadis, dapur, dan kamar mandi.




Tamping, pada umumnya hanya terletak di depan rumah. Tamping ini memiliki fungsi sebagai tempat bersantai, mengobrol, maupun untuk ruang tamu sebelum dipersilakan masuk. Bandingkan dengan rumah tradisional Bugis yang di TMII yang memiliki dua tamping di depan dan belakang rumah.




Menurut fungsinya rumah orang Bugis di Kamal Muara dibagi juga menjadi tiga bagian secara vertikal, yaitu :
a. Rakkeang, bagian atas rumah di bawah atap. Bagian ini tidak lagi difungsikan sebagai tempat penyimpanan.
b. Alo-bola (alle bola), terletak antara lantai dan loteng ruang dimana orang tinggal dan dibagi-bagi menjadi ruang-ruang khusus, untuk menerima tamu, tidur, makan, dan dapur seperti pada gambar 3 di atas.
c. Awaso, kolong rumah yang terletak di bagian bawah antara lantai dengan tanah atau bagian bawah lantai panggung yang dipakai untuk menyimpan alat-alat untuk mencari ikan.



Awaso di Kamal Muara pada umumnya masih difungsikan sebagaimana yang terdapat di tempat asalnya, yakni untuk penyimpanan alat-alat untuk mencari ikan, beternak, motor, atau tempat untuk istirahat siang seperti pada gambar 7 di atas.
Orientasi rumah pada umumnya mengikuti arah jalan, dan tidak lagi memperhatikan orientasi arah mata angin yang seharusnya menghadap ke Timur. Orientasi ini selain untuk menangkap sinar matahari pagi juga dimaksudkan untuk menyesuaikan pada pola tidur penghuni di bagian kanan ruang dalam bangunan dalam arah Selatan-Utara dan harus meletakkan kepalanya pada arah Selatan serta kaki diarahkan ke sebelah kiri bangunan sesuai dengan arah buangan segala kotoran dan ruh jahat.
Namun demikian pertimbangan lain berkaitan dengan sistem pembuangan air kotor dan arah kaki ketika tidur masih mengikuti pola asal yaitu ke arah kiri bangunan.

B. Pola Stilistika
1. Atap
Seperti pada bangunan arsitektur tradisional Bugis di daerah asal, pola penampakan bangunan di Kamal Muara tersusun dari tiga bagian sesuai dengan fungsinya. Bagian atas (rakeang), terdiri dari loteng dan atap. Atap menggunakan bahan dari seng dan sebagian asbes. Bentuk prisma, memakai tutup bubungan yang disebut Timpak Laja. Timpak laja dibuat dari bahan seng dan sebagian kayu. Pola susunannya tidak diolah dalam pola-pola tingkatan tertentu yang dapat membedakan status sosial penghuninya. Pada umumnya penghuni adalah masyarakat Bugis yang berada pada kelas menengah ke bawah. Selain karena keterbatasan lahan filosofi bentuk kurang memiliki makna dalam pandangan masyarakatnya.

Bentuk desa di Sulawesi Selatan sekarang merupakan kesatuan-kesatuan administratif, gabungan sejumlah kampong lama (desa gaya baru). Suatu kampong lama, biasanya terdiri dari sejumlah keluarga yang mendiami 10-200 rumah, letak rumahnya berderet menghadap ke selatan atau barat. Jika terdapat sungai di desa maka diusahakan agar rumah-rumah dibangun dengan gaya membelakangi sungai. Pusat dari kampong lama merupakan suatu tempat keramat (pocci tana) dengan suatu pohon waringin yang besar dan kadang-kadang terdapt juga rumah pemujaan (saukang).
2. Bukaan
Pada umumnya dinding menggunakan bahan kayu yang disusun secara melintang horisontal dan dilapisi dengan cat kayu warna, hanya sebagian yang menggunakan seng gelombang yang dipasang arah vertikal. Elemen penting pada dinding depan ialah pintu (babang/tange). Pintu diletakkan pada depa ke empat, karena jumlah tiang pada bagian depan berjumlah 5 (lima). Hal yang spesifik pada penyelesaian pintu adalah adanya dinding pembatas setinggi lutut pada bagian bawah. Fungsi penyelesaian bukaan pintu demikian bertujuan untuk melindungi anak-anak agar tidak jatuh ke bawah karena sebagian besar lokasi rumah menempati daerah rawa.


Gambar 9. Pintu Masuk yang Ditinggikan

Bukaan lain adalah jendela (tellongeng). Fungsinya adalah bukaan pada dinding yang sengaja dibuat untuk melihat keluar rumah dan juga berfungsi sebagai ventilasi udara ke dalam ruangan. Jumlah jendela 3 (tiga) buah. Peletakannya pada dinding di antara dua tiang. Pada bagian bawahnya terdapat terali kayu yang dipasang vertikal. Untuk memperindah dan menjaga keamanan ditambahkan jeruji kayu dengan jumlah bilangan ganjil. Jumlah terali 5 buah, hal ini sesuai dengan konsep rumah tradisional Bugis, untuk menunjukkan rumah rakyat biasa.


Pada bagian samping terdapat bukaan yang berupa lobang ventilasi dan pemasangan papan kayu secara longgar untuk mengalirkan udara silang dari arah berbeda dari bukaan jendela depan. Bukaan ini sangat sederhana namun tepat guna dan memiliki corak yang sama berupa bentuk geometri segi enam sebanyak tiga buah.
3. Ragam Hias
Ragam hias rumah di lokasi ini tidak begitu menonjol. Di bagian depan pada timpak laja terdapat motif kayu tempel yang menyerupai motif sinar matahari. Maksudnya adalah sebagai lambang pencerahan yang diilhami oleh elemen-elemen bentuk yang banyak digunakan oleh simbol-simbol organisasi Islam.
Selain itu pada dinding samping lubang ventilasi dengan bentuk segi enam dan penyusunan kayu yang tidak rapat memberikan efek pencahayaan yang cukup menarik bila dilihat dari sisi dalam rumah. Lubang ini pada umumnya terletak di sisi Timur dan Barat. Sinar matahari yang masuk secara tidak langsung juga menjadi alat pemandu waktu. Pagi sebagai pertanda untuk bangun dan sore pertanda malam akan tiba.












Gambar diatas. Lubang Ventilasi Pada Dinding Samping


C. Pola Penataan Struktur
D.
Bahan bangunan utama yang banyak digunakan umumnya kayu. Bahan bangunan yang biasanya digunakan : Kayu Bitti, Ipi, Amar, Cendana, Tippulu, Durian, Nangka, Besi, Lontar, Kelapa, Batang Enau, Pinang, Ilalang dan Ijuk.
Dinding dari anyaman bambu atau papan. Atap dari daun nipah, sirap atau seng. Sistem struktur menggunakan rumah panggung dengan menggunakan tiang penyangga dan tidak menggunakan pondasi. Rumah tradisional yang paling tua, tiang penyangganya langsung ditanam dalam tanah. Tahap yang paling penting dalam sistem struktur bangunan adalah pembuatan tiang (aliri). Pembuatan tiang dimulai dengan membuat posi bola (tiang pusat rumah). Bila rumah terdiri dari dua petak maka letak tiang pusat ialah pada baris kedua dari depan dan baris kedua dari samping kanan. Bila tiga petak atau lebih maka letak tiang pusat adalah baris ketiga dari depan dan baris kedua dari samping kanan.
Secara terinci ciri-ciri struktur rumah orang Bugis antara lain adalah:
1. Minimal memiliki empat petak atau 25 kolom (lima-lima) untuk sao-raja dan tiga petak atau 16 kolom (untuk bola)
2. Bentuk kolom adalah bulat untuk bangsawan, segiempat dan segidelapan untuk orang biasa
3. Terdapat pusat rumah yang disebut di Pocci (posi bola) berupa tiang yang paling penting dalam sebuah rumah, biasanya terbuat dari kayu nangka atau durian; letaknya pada deretan kolom kedua dari depan, dan kedua dari samping kanan.
4. Tangga diletakkan di depan atau belakang, dengan ciri-ciri:
a. Dipasang di ale bola atau di lego-lego.
b. Arahnya ada yang sesuai dengan panjang rumah atau sesuai dengan lebar rumah.
5. Atap berbentuk segitiga sama kaki yang digunakan untuk menutup bagian muka atau bagaian belakang rumah
6. Lantai (dapara/salima) menurut bentuknya bisa rata dan tidak rata. Bahan yang digunakan adalah papan atau bamboo.
7. Dinding (renring/rinring) terbuat dari kulit kayu, daun rumbia, atau bambu.
8. Jendela (tellongeng) jumlahnya tiga untuk rakyat biasa, tujuh untuk bangsawan
9. Pintu (tange sumpang) diyakini jika salah meletakkan dapat tertimpa bencana, sehingga diletakkan dengan cara sebagai berikut:
Jika lebar rumah sembilan depa, maka pintu diposisikan pada depa ke-8; artinya lebar rumah selelu ganjil dan pintu diletakan pada angka genap.









Gambar 12. Sistem Sambungan Balok Lantai dan Tiang
Sebuah kampong lama dipimpin seorang motowa (kepala desa) beserta kedua pembantunya disebut sariang atau parennung. Gabungan kampong dalam struktur asli disebut wanua dalam bahasa Bugis pa’rasangan atau bori dalam bahasa Makassar. Pemimpin wanua disebut (arung palili) untuk suku Bugis, Makassar sendiri yakni(karaeng) .

Bentuk rumah dan masjid, dibangun diatas tiang dan terdiri dari tiga bagian yang masing-masing mempunyai fungsi khusus yaitu :
a. rakaeng dalam bahas Bugis atau pammakkang dalam bahasa Makassar, yakni bagian rumah dibawah atap yang dipakai untuk menyimpan padi, persediaan pangan, dan juga benda-benda pusaka
b. awaso dalam bahasa Bugis atau passiringang dalam bahasa Makassar, bagian dibawah lantai panggung dipakai untuk, menyimpan alat-alat pertanian , kandang ayam, kambing, dan sebagainya. Pada zaman sekarang tempat ini berubah fungsi menjadi tempat tinggal manusia.

Hampir semua rumah Bugis dan Makassar yang berbentuk adat, mempunyai suatu pangggung di depan pintu masih dibagian atas dari tangga, panggung ini biasa disebut tamping, tempat bagi para tamu untuk menunggu sbeleum dipersilahkan oleh tuan rumah untuk masuk keruang tamu.

Proses pembangunan untuk rumah suku Bugis dan Makassar, biasanya menggunakan beberapa ramuan pada tiang utama yang akan didirikan, bahkan, kadang-kadang menggunakan kepala kerbau setelak kerangka rumah berdiri. Proses semacam ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya malapetaka.
KONSEP RUMAH DAN RUANG DALAM ARSITEKTUR TRADISIONAL
Orang Bugis juga mengenal sistem tingkatan sosial yang sangat berkait dengan arsitektur. Pelapisan sosial tersebut antara lain adalah Anakarung (bangsawan), to maradeka (rakyat biasa), dan ata (sahaya).





BBerdasarkan lapisan sosial penghuninya, berdampak pada pola bentuk rumah yang disimbolkan berbeda-beda, yaitu:
1. Sao-raja (sallasa)  Rumah besar yang didiami keluarga kaum bangsawan (Anakarung). Biasanya memiliki tiang dengan alas bertingkat di bagian bawah dan dengan atap di atasnya (sapana) yang memiliki bubungan bersusun tiga atau lebih,
2. Sao-piti  Bentuknya lebih kecil tanpa sapana, dan memiliki bubungan yang bersusun dua.

3. Bola  Merupakan rumah bagi masyarakat umumnya.

Berdasarkan pola morfologinya, arsitektur Tradisional Bugis dapat dilihat dari beberapa segi sebagai berikut:

A. Pola Penataan Spatial
Arsitektur rumah Bugis umumnya tidak bersekat-sekat. Bentuk denah yang umum adalah rumah yang tertutup, tanpa serambi yang terbuka. Tangga depan biasanya di pinggir. Di depan tangga tersedia tempat air untuk mencuci kaki. Tangga rumah tersebut berada di bawah atap (Sumintardja, 1981). Selain itu rumah Bugis umumnya memiliki suatu ruang pengantar yang berupa lantai panggung di depan pintu masuk, yang dinamakan tamping. Biasanya tempat ini difungsikan sebagai ruang tunggu bagi para tamu sebelum dipersilakan masuk oleh tuan rumah.

Rumah Bugis juga dapat digolongkan menurut fungsinya (Mattulada dalam Koentjaraningrat, 1999). Secara spatial vertikal dapat dikelompokkan dalam tiga bagian berikut:

1. Rakeang  bagian atas rumah di bawah atap, terdiri dari loteng dan atap rumah yang dipakai untuk menyimpan padi dan lain persediaan pangan serta benda-benda pusaka. Selain itu karena letaknya agak tertutup sering pula digunakan untuk menenun dan berdandan.
2. Alo-bola (alle bola)  terletak antara lantai dan loteng ruang dimana orang tinggal dan dibagi-bagi menjadi ruang-ruang khusus, untuk menerima tamu, tidur, makan,
3. Awaso kolong rumah yang terletak di bagian bawah antara lantai dengan tanah atau bagian bawah lantai panggung yang dipakai untuk menyimpan alat-alat pertanian dan ternak.

Sedangkan penataan spatial secara horisontal, pembagian ruang yang dalam istilah Bugis disebut lontang (latte), dapat dikelompokkan dalam tiga bagian sebagai berikut :
1. Lontang risaliweng (ruang depan)
Sifat ruang semi private, berfungsi sebagai tempat menerima tamu, tempat tidur tamu, tempat bermusyawarah, tempat menyimpan benih dan tempat membaringkan mayat sebelum dikebumikan. Ruang ini adalah ruang tempat berkomunikasi dengan orang luar yang sudah diijinkan untuk masuk. Sebelum memasuki ruang ini orang luar diterima lebih dahulu di ruang transisi (tamping).

2. Lontang retengngah (latte retengngah) atau ruang tengah.
Sifat ruang private, berfungsi untuk tempat tidur kepala keluarga dan anak-anak yang belum dewasa, tempat makan, melahirkan. Pada ruang ini sifat kekeluargaan dan kegiatan informal dalam keluarga amat menonjol.
3. Lontang rilaleng (latte rilaleng), sifat sangat private.
Fungsi ruang ini untuk tempat tidur anak gadis atau nenek/kakek. Anggota keluarga ini dianggap sebagai orang yang perlu perlindungan dari seluruh keluarga.

Untuk Sao raja, ada tambahan dua ruangan lagi:
1. Lego-lego
Ruang tambahan, jika di depan difungsikan sebagai tempat sandaran, tempat duduk tamu sebelum masuk, tempat menonton ada acara di luar rumah.

2. Dapureng (jonghe)
Biasanya diletakkan di belakang atau samping. Fungsinya untuk memasak dan menyimpan peralatan masak

















Pada umumnya masyarakat memiliki keinginan yang kuat untuk tetap menggunakan pola penataan fungsi dan bentuk rumahnya sesuai dengan pakem yang ditentukan oleh adat istiadat Bugis yang telah dikenalnya secara turun temurun, baik dari segi spatial, stilistika dan struktural. Namun hal ini sulit dilaksanakan karena beberapa pertimbangan berikut :
a. Dari segi Spatial
- Pertautan budaya dengan lingkungan sekitar yang kurang memiliki ikatan emosional yang kuat dengan budaya asalnya (masyarakat heterogen).
- Interaksi sosial yang menuntut perubahan bentuk secara fungsional dan kesejamanan. Ada rasa rendah diri dari anggota keluarga (khususnya remaja) terhadap pola rumahnya yang berbentuk panggung.
- Kebutuhan ruang aktifitas keluarga yang lebih privat, sehingga ruang-ruang disekat sesuai jumlah anggota keluarga. Hal ini berbeda dengan pola penataan ruang dalam yang ada pada pola spatial Arsitektur Bugis.


b. Dari segi Stilistika
- Hilangnya makna simbolik terhadap elemen-elemen bentuk stilistik. Rancangan bangunan lebih dipandang dari sudut fungsional semata.
- Kurangnya pengetahuan masyarakat Bugis terhadap dasar-dasar filosofi bentuk disamping tidak adanya lembaga dan aturan yang mengikat nilai-nilai ini.

c. Dari segi Struktural
- Bahan bangunan utama (kayu ulin) sulit didapat di wilayah pemukiman sehingga harganya sangat mahal.
- Ketinggian kolom tidak direncanakan terhadap kemungkinan terjadinya abrasi pantai, sehingga fungsi ruang bawah (awa bola) tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya. Makin lama ketinggian ruang bawah rumah makin berkurang karena tuntutan pengurugan.
- Adanya anggapan bahwa rumah dengan bahan bata dipandang lebih baik dalam perawatan dan daya tahan. Selain itu, rumah bata juga dianggap menunjukkan tingkat kemampuan ekonomi penghuni yang lebih baik.
Referensi:
Agrest, D, (1996), “Design Versus Non-Design”, Oppositions 6, 1976 in Kate Neisbitt (ed) Theorizing a New Agenda for Architecture, Princeton Architecture, New York:, p771-776
Crowe, N, (1995), Nature and the Idea of a Man-Made World: an Investivigation into the Evolutionary Roots of Form and Order in the Built Environment, MIT Press, Massachusetts.
Koentjaraningrat (1999), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Jakarta.
Pallasma, J (1996), “The Geometry of Feeling, A Look at the Phenomenology of Architecture,” Scala : Nordic Journal of Architecture and Art, in Kate Neisbitt (ed) Theorizing a New Agenda for Architecture, Princeton Architecture, New York, p.447-452
Rapoport, A, (1969), House, Form and Culture, Prentice Hall, New York.
Rudovsky, B, (1964), Architecture Without Architects, Academy Editions, London.
Schultz, C, N, (1988), Architecture: Meaning and Place, Rizzoli, New York.
Sumintardja, D, (1981), Kompedium Sejarah Arsitektur, Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Banagunan, Bandung.
Sutrisno, R, (1984). Bentuk Struktur Bangunan Dalam Arsitektur Modern,Gramedia, Jakarta.
Tanudjaja, F,C,J,S, (1998). Kerangka Makna di Dalam Arsitektur, Penerbit UAJY, Yogyakarta.

Tidak ada komentar: