Dalam beberapa ranah kompetisi desain
yang pernah gue dan tim ikuti. Cukup sering diri ini dihinggapi oleh
perasaan ingin memenangkan juara pertama dalam kompetisi tersebut.
Hal ini bukannya selalu berkonotasi positif,namum dalam sudut pandang
tertentu, ini malah menjadikan ganjalan tersendiri dihati.ko bisa??
Cukup sering gue melihat bagaimana
nominator 5 besar sayembara, biasanya... biasanya loh, ada yang
mengadaptasi gagasan yang juga pernah digagas oleh juri dan sanggup
memenangkan sayembara tersebut. Dalam kasat mata mungkin gagasan yang
coba dikeluarkan telah dilakukan tambal sulam sehingga, apabila orang
yang belum mengetahui karakter juri bisa saja tidak menjadi begitu
kritis dalam menanggapi kemenangan tersebut. Hal ini bukannya tidak
menggetarkan hati, yang ada malah memunculkan kegentaran sendiri
apabila gagasan yang murni menjadi gagasan kami selaku peserta
sayembara dan tidak masuk pula kedalam nominasi kompetisi yang sedang
kami ikuti. Kata orang sini, ada perasaan ” Dongkol”. Kami yang
sedang berupaya menggali masalah untuk memunculkan gagasan sendiri
dalam pemecahan masalah kompetisi tersebut, eh malah tim lo yang
bisa masuk nominasi, dengan gagasan pinjaman pula. Sudut pandang ini
muncul karena seiring semakin kritisnya gue dalam mengikuti
sayembara-sayembara arsitektur. Mungkin bisa salah tapi bisa jadi
benar . Entahlah... yang pasti gue ada dijenjang yang lain ketika
harus mengambil sikap. Sebuah jenjang yang memastikan gue bahwa
kesejatian seorang perancang ruang dimulai dalam menentukan sikapnya
disini. Ditahapan, dimana ia harus selalu mempertanyakan apa yang ia
lakukan apakah telah sesuai dengan hati nuraninya.
Dalam tahap evaluasi kerja, gue masih
dapat tersenyum dengan bangga bahwa, gagasan gue jauh lebih mewakili
kesejatian gue sebagai calon perancang ruang dimana, orisinalitas
pemikiran sendiri telah tercapai dengan baik. Walapun tidak bisa
berada dalam jajaran 5 besar nominator. Gue berfikir, menjadi
seseorang yang meminjam gagasan juga bisa gue tempuh, untuk
memasukkan gue kedalam jajaran pemenang, tapi gue pasti akan
menyesali hal itu karena telah menyiakan kesempatan untuk menjadikan
kompetisi sebagai sarana mengolah gagasan sendiri.
Dan gue masih selalu membaca
“Relativitas” mas Mamo sebagai kitab yang harus gue baca
terus,kerjakan, baca terus dan kerjakan setiap kali mengikuti
sayembara arsitektur. Andaikan setiap arsitek di Indonesia mampu
mengeluarkan buku dengan kualitas “Relativitas”. Semoga...