Minggu, 11 Desember 2011

Sayembara UI Afair 2012










Arsitektur Di Indonesia (1950an-1990): telaah historis singkat Oleh: Iwan Sudrajat (Part 2 Politik Yang Ber-Arsitektur atau Arsitektur Yang Dipolitisasi?)


Kalo betah baca sampe part 2 biasanya iseng nih…karena akan ngebahas mengenai pengaruh Presiden Pertama Indonesia Ir. Soekarno dalam ber-Arsitektur. ”(A.R.B)

Sejak tawal tahun 1960, literature Barat mulai masuk ke dunia pendidikan arsitektur di Indonesia. Karya-karya dan pemikiran-pemikiran para arsitek terkemuka seperti Walter Gropius, Frank Lloyd Wright, dan Le Corbusier menjadi referensi normative dalam diskusi di kelas dan latihan di studio, sehingga karakter pendidikannya menjadi lebih akademis. Iklim politik pada saat itu sangat berpengaruh terhadap penerimaan masyarakat terhadap teori dan konsep arsitektur modern, karena pada masa “Demokrasi Terpimpin” (1957-1965) di bawah presiden Soekarno , “modernitas” diberikan oleh kepentingan simbolis yang merujuk pada persatuan dan kekuatan nasional.
Soekarno mengeyam pendidikan di ITB (1921-1925) dan lulus sebagai insinyur sipil. Ia berpraktek selama satu tahun sebelum menjadi seorang politikus professional dan telah berhasil mempengaruhi secara mendasar karakter arsitektur yang diproduksi pada masa memegang kekuasaan. Kecenderungannya pada sesuatu yang modern , revolusioner, dan heroik dalam arsitektur telah membawanya pada program pembangunan besar-besaran untuk ibukota Jakarta, yang ketika itu telah dihuni oleh 3 juta penduduk. Ia berharap untuk untuk mengubah citra Jakarta sebagai pusat pemerintahan colonial menjadi ibukota sebuah Negara yang merdeka dan berdaulat, serta sebagai kebanggaan bangsa dan pertanda lahirnya kekuatan baru di dunia.
Di bawah pemerintahan rezim Soekarno, arsitektur modern di Indonesia memiliki kepentingan politik yang tidak pernah diperoleh sebelumnya. Di dalam kerangka ”pembangunan bangsa” (“nation building”), suatu awal yang mencengangkan dimulai pada akhir 1950-an, yaitu pembongkaran bangunan-bangunan lama, pendirian bangunan-bangunan baru, pelebaran jalan, dan pembangunan jalan-jalan bebas hambatan yang baru. Pencakar langit dan teknologi bangunan modern seperti air- conditioning, elevator, dan escalator mulai diperkenalkan di negeri ini untuk pertama kalinya, dan sejak itu. Garis langit (skyline) Jakarta berubah secara dramatis. Pada tahun-tahun berikutnya sekitar tujuh puluh proyek pembangunan fisik skala besar dan kecil direncanakan dan diselesaikan, sebagian besar didanai oleh bantuan dari luar negeri dan pampasan perang dari jepang.
Proyek yang paling menonjol di antaranya adalah (Jakarta) :
  • Hotel Indonesia : Hotel internasional pertama,14 lantai memiliki 423 kamar, dibangun untuk mengembangkan dan menarik perhatian industri pariwisata luar negeri agar dapat memperbaiki posisi nilai tukar mata uang Indonesia. Awal pembangunan Januari 1959 dan diresmikan pertengahan 1962 dalam rangka pembukaan Asian Games IV. Perancang: Sorensen, Arsitek dari Denmark
  • Pertokoan Sarinah : Pusat perbelanjaan berlantai 14 yang pertama dibangun di Indonesia
  • Gelora Bung Karno di Senayan : Kompleks olahraga raksasa yang bernilai 10 juta dolar ini didirikan tahun 1959 dengan bantuan dana dari Uni Soviet, untuk mewadahi Asian Games ke IV yang diselenggarakan bulan Agustus-September 1962. Stadion Olahraga utamanya mampu menampung lebih dari 100.000 penonton
  • Jalan bebas hambatan 6 jalur
  • Jakarta By-pass
  • Jembatan Semanggi
  • Monumen Nasional (Monas) : Tugu Setinggi 110 meter,yang dirancang oleh arsitek Soedarsono untuk melambangkan kelanjutan kebudayaan di Indonesia dari masa lalu., masa kini dan masa akan dating. Bentuk formalnya meminjam konfensi tugu patriotis dari Eropa, dan pada saat yang sama mengambil bentuk langgam lingga-yoni dari periode Hindu Jawa. Ukurannnya didasarkan pada angka-angka tanggal proklamasi kemerdekaan, 17/08/45. Bagian dasarnya mewadahi museum yang mendokumentasikan perjuangan revolusi rakyat Indonesia sepangjang sejarah. Dibangun pada agustus 1961 dan selesai pada 1978.
  • Taman Merdeka
  • Masjid Istiqlal : Masjid yang dirancang oleh F. Silaban ini dapat menampung sekitar 75.000 jemaah. Bangunan ini terbuat dari beton bertulang dan marmer yang diharapkan dapat bertahan 1000 tahun. Terdiri dari 5 tingkat , memiliki kubah berdiameter 45 meter, sebuah minaret setinggi 6666 cm yang melambangkan jumlah ayat Al-qur’an. Pembangunan dimulai pada Agustus 1961 dan diresmikan oleh Soeharto pada 22 Februari 1978.
  • Gedung Wisma Nusantara
  • Taman Impian Jaya Ancol : Proyek revitalisasi kawasan yang dibangun di daerah pantai Jakarta Utara dan dekat pelabuhan dengan luasan 585 Ha, Proyek ini dirancang sebagai pusat rekreasi untuk penduduk Jakarta dan sekitarnya, juga sebagai kota transit bagi pendatang dari luar negeri.
  • Gedung DPR& MPR : Terletak di areal seluas 60 Ha dengan areal terbangun seluas 80.00 m2, Dirancang oleh arsitek Soejudi untuk mengekspresikan aspirasi spiritual Indonesia modern.. Kompleks ini sebelumnya dipersiapkan oleh presiden Soekarno untuk lokasi CONEFO (Confrence of The New Emerging Force)
  • Sejumlah Patung Monumen : Yang sebagian besar berlanggam social-realis, ditempatkan diatas menara tinggi, menggambarkan buruh yang memberontak, petani yang memutus rantai, roh ibu yang baik hati. Contoh: Monumen Pembebasan Irian Barat di lapangan Banteng dan Patung Selamat Datang di Bundaran HI.
Beberapa Proyek yang dibangun diluar Jakarta (Yogya, Sanur) :
  • Hotel Ambarukmo
  • Hotel Bali Beach
Ciri khas proyek-proyek arsitektur Soekarno adalah kemajuan, modernitas, dan monumentalitas. Sebagian besar dari proyek-proyek ini dibangun dengan langgam “ International Style ”, untuk menandai kebangkitan suatu kekuatan progesif baru, yaitu Republik Indonesia. Peran dan fungsi politis arsitektur modern di Indonesia bagi Soekarno adalah untuk menanamkan kebanggaan berbangsa pada rakyatnya, untuk menampilkan citra positif negara Indonesia kepada Negara berkembang lainnya. Dan sebagai lambing perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialism.
Seorang arsitek yang memiliki hubungan dekat dengan Soekarno ketika itu ialah Friedrich Silaban yang lahir pada 16 Desember 1912 di desa Banondolok, Tapanuli, Sumatra Utar, dan meninggal pada 14 Mei 1984 di Jakarta. Memulai sebagai juru gambar (drafter) dan menjadi arsitek pada tahun 1931. Konsep desainnya sangat dipengaruhi oleh arsitek belanda J.H. Antonisse. Ia memenangka banyak sayembara arsitektur pada masa kolonial maupun pada masa kemerdekaan. Pada tahun 1950 , ia menerima pendidikan arsitektur selama satu tahun di Academie Bouwkunst di Belanda. Pada tahun 1962, Ia memperoleh penghargaan Satya Lencana Pembangunan dari Soekarno. Ia terlibat di dalam hampir semua proyek besar pada masa itu, baik sebagai penasihat maupun sebagai perancang. Desain arsitektur Silaban didasarkan pada : Fungsi, Kenyamanan, Efisiensi, dan Kesederhanaan. Ia berpendapat bahwa arsitek harus memperhatikan kebutuhan fungsional suatu bangunan dan faktor iklim tropis seperti temperature, kelembapan sirkulasi udara, dan radiasi matahari. Faktor-faktor determinan yang penting ini harus ditangani secara serius baik dalam perancangan tapak, pemilihan bentuk, sistem konstruksi dan bahan bangunan. Sikapnya terhadap desain terekspresikan dalam solusi arsitektur yang unik seperti ventilasi silang, tritisan atap yang lebar, dan selasar-selasar. Proyek besar yang ditanganinya antara lain BI di jln. Thamrin, Wisma Dirgantara di jln. Gatot Subroto, Gedung pola, dan masjid Istiqlal.

Sumber: Indonesian architecture now, Imelda Akmal