Jumat, 01 Juni 2012

Bersikap Dalam Sebuah Sayembara Arsitektur


Dalam beberapa ranah kompetisi desain yang pernah gue dan tim ikuti. Cukup sering diri ini dihinggapi oleh perasaan ingin memenangkan juara pertama dalam kompetisi tersebut. Hal ini bukannya selalu berkonotasi positif,namum dalam sudut pandang tertentu, ini malah menjadikan ganjalan tersendiri dihati.ko bisa??
Cukup sering gue melihat bagaimana nominator 5 besar sayembara, biasanya... biasanya loh, ada yang mengadaptasi gagasan yang juga pernah digagas oleh juri dan sanggup memenangkan sayembara tersebut. Dalam kasat mata mungkin gagasan yang coba dikeluarkan telah dilakukan tambal sulam sehingga, apabila orang yang belum mengetahui karakter juri bisa saja tidak menjadi begitu kritis dalam menanggapi kemenangan tersebut. Hal ini bukannya tidak menggetarkan hati, yang ada malah memunculkan kegentaran sendiri apabila gagasan yang murni menjadi gagasan kami selaku peserta sayembara dan tidak masuk pula kedalam nominasi kompetisi yang sedang kami ikuti. Kata orang sini, ada perasaan ” Dongkol”. Kami yang sedang berupaya menggali masalah untuk memunculkan gagasan sendiri dalam pemecahan masalah kompetisi tersebut, eh malah tim lo yang bisa masuk nominasi, dengan gagasan pinjaman pula. Sudut pandang ini muncul karena seiring semakin kritisnya gue dalam mengikuti sayembara-sayembara arsitektur. Mungkin bisa salah tapi bisa jadi benar . Entahlah... yang pasti gue ada dijenjang yang lain ketika harus mengambil sikap. Sebuah jenjang yang memastikan gue bahwa kesejatian seorang perancang ruang dimulai dalam menentukan sikapnya disini. Ditahapan, dimana ia harus selalu mempertanyakan apa yang ia lakukan apakah telah sesuai dengan hati nuraninya.
Dalam tahap evaluasi kerja, gue masih dapat tersenyum dengan bangga bahwa, gagasan gue jauh lebih mewakili kesejatian gue sebagai calon perancang ruang dimana, orisinalitas pemikiran sendiri telah tercapai dengan baik. Walapun tidak bisa berada dalam jajaran 5 besar nominator. Gue berfikir, menjadi seseorang yang meminjam gagasan juga bisa gue tempuh, untuk memasukkan gue kedalam jajaran pemenang, tapi gue pasti akan menyesali hal itu karena telah menyiakan kesempatan untuk menjadikan kompetisi sebagai sarana mengolah gagasan sendiri.
Dan gue masih selalu membaca “Relativitas” mas Mamo sebagai kitab yang harus gue baca terus,kerjakan, baca terus dan kerjakan setiap kali mengikuti sayembara arsitektur. Andaikan setiap arsitek di Indonesia mampu mengeluarkan buku dengan kualitas “Relativitas”. Semoga...

Tidak ada komentar: